Makalah Membangun Partisipasi Masyarakat dalam Memerangi Korupsi
MEMBANGUN PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM
MEMERANGI KORUPSI
A.
Pendahuluan
Korupsi merupakan salah satu
masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sampai saat ini. Berbagai
survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga internasional selalu menempatkan Indonesia
dalam urutan tertinggi dari negara yang paling korup di dunia. Hasil Survey
Transparency International Tahun 2008 dimana Indonesia berada di urutan 126
dari 180 Negara yang di survey dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
sebesar 2,6. Skor ini hanya naik 0,3 poin dari skor sebelumnya (2007) sebesar
2,3. Pada tahun 2006 skor IPK Indonesia sebesar 2,4 sementara tahun 2005
sebesar 2,2. Angka-angka ini lebih kecil dibandingkan dengan Negara-Negara
ASEAN lainnya. Untuk Tahun 2008 saja, hanya Filipina, Laos, Kamboja dan Myanmar
saja yang skornya berada di bawah Indonesia yakni masing-masing sebesar 2,3;
2,0; 1,8 dan 1,3, sementara Negara lainnya memiliki skor jauh di atas
Indonesia. Bandingkan dengan skor IPK dari Singapura, Malaysia dan Thailand yang
masing-masing memiliki skor IPK sebesar 9,2; 5,1 dan 3,5. (www.kompasiana.com)
Hasil ini tidak jauh berbeda
setiap tahunnya, sehingga banyak pihak yang berpendapat bahwa korupsi di
Indonesia tetap dianggap sebagai endemik, sistemik dan terstruktur. Apabila
kita melihat dari sejumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia, kasus tindak
pidana korupsi yang ditangani oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) sebagian
besar (77%) adalah kasus tindak pidana korupsi yang terkait dengan pengadaan
barang dan jasa. Artinya, dalam banyak hal korupsi yang terjadi di Indonesia
adalah korupsi birokrasi atau korupsi di pemerintahan sipil. Korupsi yang
seperti ini terjadi dalam semua tingkatan pemerintahan, tidak hanya di pusat
tetapi juga di daerah-daerah. Bahkan, sejak diberlakukannya otonomi daerah
berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah di tahun 2001
telah terjadi kecenderungan korupsi di Pemerintahan Daerah yang semakin
meningkat dengan tajam. Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi yang telah
dilakukan di Indonesia, dapat dilihat bahwa upaya yang dilakukan masih
cenderung parsial dan tidak memiliki desain strategi yang jelas sehingga dalam
banyak hal tidak mampu mengurangi secara signifikan tingkat korupsi yang
terjadi.
Sementara itu terkait dengan pemberantasan
korupsi, kita dapat mengambil contoh negara Hongkong Pada
tahun 1960-an hingga awal 1970-an, Hongkong merupakan salah satu negara paling
korup di dunia. Saat itu, adalah hal biasa ketika masyarakat melakukan
penyuapan terhadap pejabat pemerintah. Bahkan lebih parahnya, lembaga penegak
hukum di sana adalah sarang korupsi. Namun praktik korupsi ini semakin
berkurang sejak dibentuknya Independent Commission Against Corruption
(ICAC) pada Oktober 1973. Berkat kerja keras lembaga independen ini dan
didukung oleh masyarakat luas, akhirnya Hongkong menjadi salah satu
negara terbersih dari tindak pidana korupsi. Dengan demikian, kesuksesan
Hongkong dalam memerangi korupsi tidak bisa dilepaskan dari partisipasi
masyarakat. Bagaimana dengan Indonesia?
Di Indonesia, pada masa Orde Baru,
terjadi praktik mega korupsi secara sistematis. Pejabat yang melakukan praktik
korupsi secara besar-besaran ini bukan hanya untuk memperkaya diri, tetapi juga
untuk membiayai kegiatan politik guna mempertahankan kekuasaan. Hingga saat
ini, mega korupsi dan korupsi berjemaah masih terjadi. Banyaknya
pejabat-pejabat dan juga petinggi partai politik yang akhir-akhir ini
berhadapan dengan hukum akibat korupsi, merupakan contoh nyata. Sepertinya
mereka tidak memiliki rasa malu dan takut.
Sialnya, sebagian besar masyarakat
menganggap korupsi sebagai hal yang biasa dan merupakan tradisi, serta
merupakan karakteristik budaya. Ketika korupsi dianggap sebagai kenyataan yang
wajar, maka dalam contoh sederhana, tidak mengherankan ketika pungutan-pungutan
tidak resmi terus mewarnai pelayanan publik, seperti pada saat pengurusan kartu
tanda penduduk (KTP), surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan
(STNK), izin mendirikan bangunan (IMB), dan surat-surat lainnya.
Memang sejak era reformasi 1998, semangat
dan harapan untuk memerangi korupsi begitu besar. Hal ini didukung oleh
kebebasan pers, dibentuknya lembaga independen komisi pemberantasan korupsi
(KPK), dan lembaga swadaya masayarakat (LSM) maupun organisasi masyarakat (ormas)
yang giat menyuarakan dan memperjuangkan pemberantasan korupsi. Tetapi upaya
memerangi korupsi ini tidak berjalan dengan lancar karena minimnya partisipasi
masyarakat. Padahal, masyarakatlah yang paling dikorbankan atas praktik korupsi
tersebut. Di sisi lain, tantangan dan hambatan dari pihak pro status quo
semakin besar dan kuat.
B.
Pembahasan
1.
Korupsi
Korupsi dalam sejarah peradaban
manusia merupakan salah satu masalah yang senantiasa menyertai perjalanan
kehidupan manusia. Perilaku yang dapat digolongkan ke dalam tindakan korupsi
seperti penyuapan dapat ditemukan dalam peradaban kuno masyarakat Yahudi, Cina,
Jepang, Yunani, dan Romawi (Khan, 2000). Bahkan korupsi dengan skala besar yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat telah terjadi pada masa peradaban India kuno
(Khan, 2000). Pada peradaban Indonesia sendiri, korupsi juga telah berlangsung
lama. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam tulisan Smith (dalam Teguh
Kurniawan, 2009). Menurut Smith, korupsi di Indonesia dapat ditemukan sejak
mulai masuknya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) ke Indonesia pada abad
ke-18 dan bahkan jauh sebelum itu apabila dilihat dari perilaku tradisional
yang dipraktikkan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di era sejumlah
kerajaan nusantara.
Dalam penjelasan secara keilmuan Pheni Chalid (2010) menegaskan bahwa
korupsi merupakan istilah yang mencakup segala sesuatu yang informal atau
mekanisme ilegal untuk memanipulasi ekonomi, intimidasi, dan pembagian
kedudukan dalam kekuasaan yang dapat mendatangkan keuntungan terhadap individu
dan kolegtif. Sedang H.A Brasz, mencoba memberikan pengertian korupsi dari
perspektif sosiologis atas dasar sudut padang kekuasaan. Menurutnya korupsi
adalah penggunaan yang korup dari kekuasaan dengan menyalahgunakan wewenang
yang melekat pada kekuasaan sehingga merugikan tujuan kekuasaan yang sebenarnya
dan menguntungkan orang atas dalih menggunakan kekuasaan itu dengan sah.
Korupsi dapat berakibat sangat
besar baik secara ekonomi, politik, maupun sosial budaya dan hukum. Masyarakat
banyak tidak menyadari bahwa perbuatan korupsi berakibat sangat buruk bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi masyarakat jarang dapat langsung
merasakannya. Masyarakat hanya berasumsi yang dirugikan oleh perbuatan korupsi
adalah keuangan dan perekonomian negara, pada hal secara tidak langsung yang
dirugikan adalah masyarakat itu sendiri. Di bawah ini ada beberapa contoh
dampak dari akibat yang ditimbulkan dari permasalahan korupsi, yaitu ditinjau
dari dampak ekonomi, dampak politik, dampak pelayanan publik, dampak hukum dan
dampak sosial budaya.
a.
Dampak Ekonomi
Dampak dari sektor ekonomi dapat dilihat dari
beberapa aspek, yaitu :
1)
Bantuan pendanaan untuk petani, usaha kecil, maupun
koperasi tidak pernah sampai ketangan masyarakat, yang artinya korupsi menghambat
pembangunan ekonomi rakyat;
2)
Harga barang menjadi mahal;
3)
Sebagian besar uang hanya berputar pada segelintir
orang elit ekonomi dan elit politik saja;
4)
Rendahnya upah buruh;
5)
Produk petani Indonesia tidak dapat bersaing;
6)
Korupsi membuat utang bangsa Indonesia menjadi
banyak; dan
7)
Korupsi mengurangi minat para investor untuk
menginvestasikan uangnya atau modalnya di Indonesia.
b.
Dampak Politik
Politik yang seharusnya sebagai upaya untuk
meningkatkan kesejahtaraan rakyat dan sebagai sarana untuk memberantas tindak
pidana korupsi, malah dibuat sebagai sarana untuk merebut dan mempertahankan
kekuasaan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab tanpa memikirkan
masyarakat kecil. Dampak dari perbuatan korupsi di dalam sektor ini, yaitu :
1)
Korupsi menjadi sumber utama untuk membiayai
aktifitas politik dan mempertahankan kekuasaan;
2)
Hampir sebagian besar posisi elit politik dipegang
oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, yang disebabkan karena pemilihan
untuk memilih para elit politik tersebut tidak demokratis;
3)
Korupsi yang sistemik membuat masyarakat tidak lagi
mempercayai penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif;
4)
Sistem politik yang dipegang oleh orang-orang yang
tidak bertanggungjawab mengancam keabsahan pemerintah dan pada akhirnya berdampak
pada produk hukum yang dibuat yang dianggap ilegal oleh masyarakat.
5)
Lembaga negara yang dibentuk hasil politik akan
tidak berjalan sebagaimana mestinya jika dipegang oleh orang-orang yang korup dan
tidak bertanggungjawab; dan
6)
Korupsi dapat menghancurkan integritas bangsa.
c.
Dampak Pelayanan Publik
Akibat perbuatan para pejabat yang tidak
bertanggungjawab dapat berakibat pada pelayanan publik yang kurang memihak pada
masyarakat kecil. Dalam hal ini dampak dari perbuatan korupsi pada pelayanan
publik, yaitu :
1)
Pelayanan publik buruk, karena birokrasi tidak
berorientasi pada pelayanan masyarakat kecil;
2)
Semangat profesionalisme pegawai yang bersih dan
jujur makin luntur; dan
3)
Berubahnya fungsi-fungsi pelayanan publik.
d.
Dampak Hukum
Hukum sebagai pilar untuk menekan laju pertumbuhan
tindak pidana korupsi, malah dijadikan sebagai salah satu sarana untuk
mendapatkan uang yang banyak atau dengan kata lain hukum dijadikan sebagai
salah satu sarang dari perbuatan korupsi. Dampak-dampak dari perbuatan korupsi
dibidang hukum, yaitu :
1)
Banyak para aparat penegak hukum yang tidak bersih
dikarenakan pada awalnya meraka melakukan pelanggaran hukum;
2)
Hukum dijual belikan oleh aparat penegak hukum itu
sendiri, sehingga putusan yang dihasilkan menjadi tidak adil; dan
3)
Menjadikan rakyat tidak percaya lagi pada mekanisme
hukum yang dikarenakan mental para aparat penegak hukum sengat rendah.
e.
Dampak Sosial Budaya
Perubahan lain dari perbuatan korupsi adalah
perubahan paradikma atau cara pandang masyarakat itu sendiri, baik masyarakat Indonesia
maupun masyarakat internasional, yang dulunya Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang jujur dan ternyata sekarang semua itu berubah menjadi salah satu bangsa
yang terkorup di dunia. Dampak-dampak dari korupsi dibidang ini adalah :
1)
Korupsi yang bersifat sistematis menyebabkan
masyarakat tidak lagi menghiraukan aspek-aspek profesionalisme dan kejujuran;
2)
Runtuhnya bangunan moral bangsa; dan
3)
Perbuatan korupsi yang berkepanjangan akan
menghilangkan harapan masa depan yang lebih baik.
Kemiskinan sebagai produk korupsi
yang menimbulkan depresi masyarakat yang berkepanjangan. Banyak cara atau
penyebab terjadinya korupsi, baik dibidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial
masyarakat yang ada disekitar kita, dan mereka yang melakukan perbuatan korupsi
yang dikenal dengan koruptor tidak pernah merasa malu atau takut dalam
melakukan perbuatan yang tercela itu. Secara sosiologis Syed Husein Alatas
sebagaimana dikutip oleh Pheni Chalid (2010), mengklasifikasikan jenis-jenis
korupsi menjadi 7 (tujuh) bentuk korupsi, yaitu:
a.
Korupsi Transiktif, yaitu korupsi yang menunjukan
adanya kesepakatan timbal-balik, antara pihak yang memberi dengan pihak yang
menerima demi keuntungan bersama, dan kedua pihak tersebut sama-sama aktif
melakukan atau menjalankan perbuatan korupsi tersebut.
b.
Korupsi Ekstroktif, yaitu korupsi yang menyatakan
bentuk-bentuk korelasi (penekanan) dimana pihak pemberi dipaksa untuk
memberikan suap guna mencegah kerugian yang mengancam dirinya, kepentingan
orang-orangnnya, serta hal-hal yang dihargainya.
c.
Korupsi Investif, yaitu korupsi yang melibatkan
suatu penawaran barang atau jasa tanpa adanya pertalian langsung dengan
keuntungan yang memberi. Keuntungan diharapkan akan terjadi atau akan diperoleh
dimasa yang akan datang.
d.
Korupsi Nepotisme, yaitu korupsi yang berupa
pemberian kelakuan khusus kepada teman atau yang memiliki kedekatan hubungan
dalam rangka memduduki jabatan politik. Dengan kata lain, pemberian kelakukan
pengutamaan dalam segala bentuk yang bertentangan dengan norma atau peraturan
yang berlaku.
e.
Korupsi Autogenik, yaitu korupsi yang dilakukan
individu kerena mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari
pengetahuan dan pemehamannya atas sesuatu yang diketahuinya sendiri.
f.
Korupsi Suportif, yaitu korupsi yang mengacu pada
penciptaan suasana kondusif untuk melindungi atau mempertahankan keberadaan
tindak pidana korupsi yang dilakukan.
g.
Tahu Sama Tahu, yaitu korupsi yang mengacu pada
hasil korupsi didistribusikan kepada para anggota, sehingga keadilan distribusi
berlangsung diantara mereka.
h.
Korupsi Administratif, yaitu korupsi yang dilakukan
melalui prosedur administratif pemerintahan.
Dalam kasus di Indonesia korupsi
telah berlangsung secara sistematis dan melibatkan banyak faktor dan stakeholder, dimana satu faktor dan stakeholder dengan faktor lainnya
terintegrasi membentuk jaringan dan lingkaran yang sulit diurai, sehingga
korupsi menjadi substruktur dalam social, politik, dan ekonomi yang stabil dan
berlangsung terus-menerus. Menurut Alexander Irwan, terdapat empat lingkaran
korupsi terjadi di Indonesia:
a.
Korupsi yang melibatkan pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan pelaku usaha;
b.
Korupsi yang melibatkan kreditor multilateral,
pemerintah pusat dan daerah;
c.
Korupsi yang melibatkan LSM/ornop dan lembaga donor
asing;
d.
Korupsi yang korban pelakunya adalah rakyat kelas
menengah ke bawah.
Pengertian
yang kemukakan oleh Syed Husein Alatas di atas jauh lebih luas daripada
pengertian dan jenis-jenis yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Tindak Pidana Korupsi.
Hal ini menunjukan bahwa hukum yang mengatur hal tersebut jauh tertinggal
dengan kenyataan yang ada dimasyarakat.
Sedangkan
menurut Locus sebagaimana dikutip oleh Syahrul Mustofa, korupsi dibagi menjadi
3 (tiga), yaitu :
a.
Bureucratik Corruption, yaitu korupsi yang terjadi
pada ruang ligkup pelaksanaan fungsi-fungis pemerintahan.
b.
Yudisial Corruption, yaitu korupsi yang terjadi
pada ruang lingkup penegak hukum.
c.
Political Corruption, yaitu korupsi yang terjadi
pada ruang lingkup proses-proses politik.
2.
Pemberantasan Korupsi
Korupsi diibaratkan sebagai mata
rantai yang saling berhubungan satu sama lain dan hal itu juga yang menyebabkan
korupsi seakan-akan tidak memiliki ujung pangkal. Dalam penanggulangan korupsi
terdapat beberapa model yang dapat digunakan, dimana semua model itu tercakup
dalam suatu system penaggulangan secara holistik,
yaitu:
a.
Sistem Integrasi Nasional;
b.
Independensi sistem peradilan;
c.
Auditor Negara;
d.
Peran swasta;
e.
Ombudsman;
f.
Organisasi independen anti korupsi;
g.
Pelayan publik;
h.
Pemerintahan daerah; dan
i.
Independensi dan kebebasan media massa
Ada
beberapa peluang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu :
a.
Dengan sistem politik yang semakin demokratis
membuka ruang gerak bagi politisi maupun aktivis yang anti korupsi untuk
berpolitik dengan mengedepankan dan memperjuangkan aspirasi rakyat;
b.
Semakin kuatnya tekanan masyarakat terhadap penanganan
kasus.kasus korupsi; dan
c.
Produk perundang-undangan yang semakin
mengedepankan partisipasi masyarakat dan trasparansi informasi.
Pemberantasan tindak pidana
korupsi merupakan jalan untuk menciptakan pemerintahan yang baik (good
governance). Pemberantasan korupsi merupakan mata rantai yang saling melekat
dalam setiap langkah menciptakan pemerintahan yang baik (good governance), yang
artinya tidak akan terciptanya pemerintahan yang baik jika korupsi masih
berkembang tidak terkendali.
Ada empat (4) hal yang membuat
korupsi sulit diberantas atau tumbuh tidak terkendali, yaitu :
a.
Sistem pemerintahan yang memungkinkan dan
memberikan peluang untuk melakukan korupsi;
b.
Semakin menurunya moralitas, akhlak, dan kesadaran
masyarakat;
c.
Pandangan hidup yang materialistik, sekuler,
kapitalis, komunis, dan melupakan keberadaan Allah SWT dalam kehidupan; serta
d.
Kurang aktifnya masyarakat dalam mengontrol.
3.
Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi
Bagaimanapun juga, pemberantasan korupsi
tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya partisipasi masyarakat. Oleh
sebab itu, sudah menjadi hukum wajib masyarakat harus berpartisipasi dalam
pemberantasan korupsi. Setidaknya ada empat alasan mengapa masyarakat harus
berpartisipasi aktif dalam memerangi korupsi. Pertama, dengan melihat akar
korupsi. Kedua, dampak korupsi bagi masyarakat. Ketiga, manfaat dari
pemberantasan korupsi. Keempat, lemahnya aparat pemerintah dan penegak hukum
dalam menangani korupsi.
Pada umumnya, korupsi dapat terjadi
karena adanya niat dan kesempatan. Niat untuk melakukan korupsi muncul ketika
adanya situasi yang kondusif maupun longgar atau lemahnya sistem
pengawasan. Sebaliknya, situasi yang kondusif atau lemahnya sistem pengawasan
menimbulkan niat seseorang untuk melakukan korupsi. Situasi yang
kondusif/longgar maupun lemahanya sistem pengawasan itu tercipta ketika
lemahnya penegakan hukum dan minimnya pengawasan dari masyarakat.
Sangat tidak adil ketika koruptor yang
terbukti mencuri uang rakyat miliaran rupiah hanya divonis rata-rata di bawah
lima tahun. Itu belum termasuk remisi dan keringanan lainnya. Sementara rakyat
kecil yang mencuri karena terpaksa memenuhi kebutuhan sejengkal perutnya,
divonis lebih lama. Itu pun sesudah mendapatkan perlakuan kekerasan fisik. Oleh
sebab itu, partisipasi masyarakat dalam memerangi korupsi bukan hanya mengawasi
dan mencegah korupsi, tetapi juga mengawal serta menegakkan hukum.
Partsipasi masyarakat sangat dibutuhkan,
apalagi dengan mengingat bahwa masyarakatlah yang paling dirugikan dari
korupsi. Ada pun dampak buruk korupsi bagi masyarakat adalah: harga barang
semakin mahal dan upah buruh murah karena perusahaan harus membayar “suap” sejak
masa perizinan hingga produksi; sektor pelayanan publik (pendidikan dan
kesehatan) semakin mahal; bantuan tidak sampai ke tangan masayarakat karena
sudah “disunat” dari atas; petani semakin terjepit karena harga faktor produksi
semkin tinggi; kebijakan politik tidak merakyat karena pejabat dipilih
berdasarkan politik uang; dan merosak moral generasi bangsa.
Dampak buruk tersebut akan hilang jika
upaya memerangi korupsi sungguh-sungguh dilakukan sebagai gerakan bersama
dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Salah satu manfaatnya adalah
terciptanya pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang bersih tentu
menciptakan pelayanan publik yang bersifat menolong, terbuka, bertanggungjawab,
responsif, dan adil.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara
adalah pihak yang paling bertanggungjawab dalam memerangi korupsi. Tetapi
masyarakat tidak bisa (hanya) mengandalkan pemerintah karena aparat pemerintah
memiliki keterbatasan. Selain itu, yang menjadi masalah besar adalah karena
sarang korupsi sekarang ini ada di lembaga pemerintahan dan lembaga hukum. Oleh
karena itu, masyarakat harus bergerak, masyarakat harus berpartisipasi.
Berputarnya roda partisipasi masyarakat akan seirama dengan perubahan di
lingkungan pemerintahan. Pertanyaan sekarang, bagaimana partisipasi masyarakat
dalam memerangi korupsi?
Seberapa besar pun partisipasi masyarakat
dalam memerangi korupsi, pasti tidak akan menghilangkan korupsi 100 persen.
Tetapi, partisipasi masyarakat yang terorganisir pasti akan membawa perubahan
besar di negeri ini. Agar upaya memerangi korupsi membawa manfaat besar, maka
yang pertama dan terutama dilakukan adalah membentuk kesadaran dalam diri
masyarakat bahwa mereka adalah “majikan” sedangkan pemerintah adalah “pelayan”.
Seorang majikan berhak mengetahui dan mengawasi kinerja pelayannya. Seorang
majikan berhak mendapatkan pelayanan terbaik dari pelayanannya. Proses
penyadaran ini sejalan dengan pengikisan budaya feodal.
Selanjutnya, strategi pemberantasan
korupsi dapat dilakukan dengan tiga hal. Pertama, strategi preventif,
yakni strategi yang sifatnya mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
Misalnya dengan menolak peermintaan pungutan liar dalam pengurusan apa pun.
Masyarakat harus membiasakan transaksi keuangan sesui dengan bukti penerimaan
(kwitansi).
Kedua, strategi detektif, yakni strategi
mendeteksi apakah telah terjadi tindak pidana korupsi. Partisipasi masyarakat
diharapkan menjadi gerakan sosial yang rapi, sehingga masyarakat perlu
membentuk komunitas anti korupsi. Komunitas anti korupsi ini tentu akan memiliki
energi yang lebih besar dalam melakukan pengawasan .
Ketiga,
strategi advokasi, yakni strategi membangun sistem yang dapat menyelesaikan
kasus-kasus korupsi secara hukum. Dalam tahap ini, masyarakat bisa melaporkan
kasus korupsi kepada aparat hukum dan mengawasi proses penanganannya. Selain
itu, sistem politik yang relatif demokratis serta adanya kebebasan pers dapat
dijadikan sebagai ruang partisipasi masyarakat, misalnya dalam kampanye anti
korupsi bahkan dengan jalan demonstrasi.
Masyarakat
harus dilibatkan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan masyarakat juga
harus dilibatkan dalam setiap kegiatan pembangunan agar terjadi kontrol sosial
yang menyeluruh, baik dari peraturan perundang-undangan maupun dari norma-norma
yang ada. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi, yaitu :
a. Partisipasi
masyarakat akan melahirkan suatu kebijakan pemerintah yang lebih berorientasi
pada kepentingan masyarakat;
b. Partisipasi
masyarakat akan meringankan tugas-tugas aparat pemerintah; dan
c. Suatu
kebijakan pemerintah yang disusun secara partisipatif akan lebih legitimasi di
masyarakat.
Bentuk
dari partisipasi masyarakat dapat dibagi menjadi delapan (8), yaitu :
a. Pengawasan
oleh warga atau masyarakat;
b. Delegasi
kekuasaan;
c. Kemitraan;
d. Peredaman;
e. Konsultasi;
f. Menginformasikan;
g. Penentraman
atau terapi; dan
h.
Menipulasi.
Di dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
di dalam BAB V Tentang Peran Serta Masyarakat Pasal 41 menyatakan :
a. Masyarakat
dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
b. Peran
serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk :
1) hak
mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi;
2) hak untuk
memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani
perkara tindak pidana korupsi;
3) hak
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
4) hak untuk
memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada
penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; dan
5) hak untuk
memperoleh perlindungan hukum
C.
Kesimpulan dan Rekomendasi
1.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa upaya yang dilakukan dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia masih cenderung parsial dan tidak memiliki desain strategi yang jelas
sehingga dalam banyak hal tidak mampu mengurangikan tingkat korupsi yang
terjadi dalam penyelenggaraan
pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Strategi antikorupsi yang baik adalah
strategi yang telah mempertimbangkan semua faktor yang berpengaruh dan dengan
melakukan diagnosa yang benar terhadap permasalahan korupsi yang dihadapi. Selain
itu, strategi anti korupsi juga harus diarahkan pada penguatan peran masyarakat
dalam mengawasi pemerintah.
Pentingnya peran dan partisipasi
masyarakat dalam pemberantasan korupsi ini ternyata belum begitu mendapat
perhatian dan dikaji secara mendalam di Indonesia. Partisipasi masyarakat merupakan
instrumen yang dianggap mampu mengatasi tindak pidana korupsi baik yang terjadi
sebagai akibat dari faktor-faktor yang bersifat langsung dan tidak langsung
maupun akibat dari faktor-faktor yang berasal dari karakteristik individual dan
struktural. Partisipasi masyarakat juga dapat sejalan dilakukan sebagai
strategi yang berfokus baik terhadap masyarakat, hukum, pasar, maupun politik.
Karenanya, dalam upaya pemberantasan korupsi yang tepat sasaran di masa
mendatang, lebih
efektif, efisien perlulah kiranya dilakukan berbagai kajian yang mendalam
terhadap berbagai aspek dari partisipasi masyarakat ini.
2.
Rekomendasi
Pemberantasan korupsi di
Indonesia menjadi agenda utama bangsa dan Negara, dari itu penulis membuat
rekomendasi sebagai berikut:
1.
Meningkatkan pengawasan dan peran serta
masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan untuk meminimalisir
penyimpangan yang terjadi.
2.
Masyarakat lebih berani mengambil
inisiatif melaporkan adanya indikasi korupsi
yang terjadi di sekitarnya.
3.
Tindakan tegas dari lembaga penegak
hukum dan memperberat hukuman pelaku korupsi.
4.
Pendidikan tentang korupsi harus
diajarkan sejak dini agar tercipta individu yang berkarakter yang dapat mengenali bentuk dan praktek korupsi dan bahaya laten
korupsi bagi bangsa dan negara.
Daftar Bacaan
1.
H.A
Brasz, (1995) Beberapa cacatan mengenai
Sosiologi Korupsi, Jakarta: LP3ES
2.
http://journal.ui.ac.id/index.php/jbb/article/viewFile/612/597
Teguh Kurniawan Peranan Akuntabilitas
Publik dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan
3. http://politik.kompasiana.com/2013/10/05/membangun-partisipasi-masyarakat-dalam-memerangi-korupsi-597812.html
4. Khan,
Mohammad Mohabbat. 2000. Problems of
Democracy: Administrative Reform and Corruption, paper presented at the
Norwegian Association for Development Research Annual Conference on the State
under Pressure, Bergen, Norway 5-6 October 2000.
5.
Pheni
Chalid, (2010) Teori dan Isu Pembangunan,
Jakarta: Universitas Terbuka
6.
Smith, Theodore M. 1971. Corruption, Tradition and Change. Indonesia, Vol. 11.
7.
Syed
Hasein Alatas, (1968) The Sosiology Of
Coruption, Singapore: Times International
8.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Tindak Pidana Korupsi.
9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Komentar
Posting Komentar